Sabtu, 16 Januari 2016

Aku, Kamu dan Tuhanku


* * *
        15 April 2013

        Peristiwa yang telah lama berlalu, tapi pengalamanku selama ini menunjukkan bahwa kita tak akan pernah bisa mengubur masa lalu. Karena bagaimana pun, masa lalu akan selalu menyeruak mencari jalan keluar. Sekarang saat aku melihat kembali ke masa lalu, aku menyadari bahwa tetesan air hujan mulai turun dari langit yang hitam kelam. Aku segera beranjak dan  mencari tempat untuk berteduh dari hujan yang semakin lebat. Sebuah  halte bus kini hampir penuh diisi oleh beberapa orang yang sama halnya denganku.

        Kenapa air hujan selalu mengingatkanku dengannya? Seharusnya sekarang ini aku sudah melupakan pria itu bersama dengan kenangannya.


* * *
14 November 2009

Hembusan angin musim kemarau rasanya begitu menelusup sampai ke tulang rusuk. Satu persatu daun pohon ek mulai berjatuhan, tapi setelah kulihat kembali tidak hanya satu bahkan ada dua, tiga dan mungkin lebih banyak lagi dedaunan itu jatuh secara bersamaan. Kupeluk al-qur’anku ini penuh dengan kesanjungan. Aku begitu menghormati kitabku ini karena Allah telah menurunkannya sebagai petunjuk hidup bagi setiap umat muslim. Kurasakan sebuah tangan  menggenggam  bahuku lembut dan  ketika berbalik dapat kukenali siapa dia.
“assalamu’alaikum salma”sapa sahabatku Fatimah  kemudian duduk di sampingku. Kubalas senyuman indahnya yang mengembang tulus terhadapku 
“wa’alaikumsallam  ima”balasku.
“oh iya salma. Kau tahu ketua Badan Eksekutif Mahasiswa kampus kita kan?”aku mengerutkan dahiku melambung jauh memikirkan siapa itu. Ah ya aku  ingat sekali! Dia kan Nathan  Andrea. Aku menyukainya sejak dulu namun kusembunyikan karena kita berbeda. Aku seorang muslim sedangkan dia seorang kristiani.
“ya. Aku tahu”ujarku  mantap.
“Dia jatuh cinta padamu”ujar Fatimah antusias, dia kemudian memelukku erat. Senyuman mengembang dibibirku, ternyata cintaku terbalaskan. Terimakasih atas nikmat-Mu ini, tak kuasa hatiku sampai mataku meneteskan air mata. Namun ada perasaan sedikit takut pada abi, pasti dia tidak akan pernah merestui perasaan yang selama ini kupendam.
“bagaimana bisa?” tanyaku. Fatimah mengerdikan bahunya lalu mengajakku pulang karena hari mulai sore. Sepanjang perjalanan bibirku terus mengembangkan senyuman karena hatiku kini sedang berbunga-bunga. Kulihat Nathan berjalan berlawanan denganku sehingga dapat terlihat jelas wajah tampannya. Mulai dari rambut hitamnya, mata coklat berwarna madu, hidung serta bibirnya. Astagfirullahaladzim maafkan aku ya Allah, aku sudah jina mata. Nathan kini berjalan mendekatiku, aku mulai gugup, ingin rasanya aku berlari namun kaki ini terpaku. Aku gugup karenanya.
“Hai salma”sapanya dengan suara merdu, bahkan lebih merdu dari yang kubayangkan. Nathan menatapku kemudian memalingkan pandangannya, bibirnya tersenyum sambil menggaruk tengkuknya. Detik kemudian dia kembali melihat kearahku.
“hai Nathan”balasku.
“sal... aku ingin mengajakmu pulang bersama, kebetulan rumah kita searah. Kamu bisa kan?” kutatap Fatimah yang kini sudah berada jauh dari sampingku. Kurasa dia sudah mengerti dengan keadaan. Tapi sebenarnya aku berniat untuk menolak karena Abi pasti tidak suka jika aku diantarkan pulang oleh pria yang bukan muhrim.
“sebelumnya maafkan aku Nathan, tapi kita bukan muhrim. Tidak baik jika berduaan. Karena nanti bisa menimbulkan fitnah” jelasku hati-hati agar tidak menyinggung perasaannya.
“tapi ada yang harus kubicarakan padamu. Ini penting. Hanya kita berdua” akupun menghembusakn nafas berat.
“kenapa tidak disini saja” tegasku.
“tapi salma, disini banyak orang” belanya. “justru lebih baik ditempat seperti ini. tidak baik dua orang belum muhrim berduaan di tempat sepi. Itu akan menimbulkan zina” jelasku. Nathan pun menghembuskan nafasnya lemah, dia mulai pasrah karena tidak punya pilihan lagi. “baiklah”desisnya.
Aku dan Nathan pun memilih duduk di kursi taman yang menjorok ke tempat ramai agar tidak menimbulkan fitnah. Sedari tadi dia hanya diam, tidak mau berbicara sedikitpun.
“jadi. Apa yang ingin kamu bicarakan?”tanyaku memecah keheningan. Nathan terlihat begitu gugup. Jauh dari Nathan yang ku kenal, yang begitu percaya diri dan berwibawa.
“sebenarnya.....”
“kamu suka padaku?”  tanyaku percaya diri. Nathan terlihat kaget, dia tampak salah tingkah.
“menurutkmu?” tanyanya. Aku terdiam tak dapat berkata apa-apa. Pertanyannya mampu membuat pikiranku melanglang buana. “entahlah”
“aku memang suka padamu sudah cukup lama. Bahkan setiap hari aku mengikutimu pergi ke tempat ibadahmu yang disebut mesjid. Kini aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Salma.... maukah kamu menjadi kekasihku?”nathan menatapku lekat, wajahnya yang tampan mampu mengalihkan duniaku. Namun bukan seperti ini yang kuinginkan.
“kamu tau kita berbeda agama bukan?” tanyaku. Nathan pun mengangguk. “ ya, aku tahu. Kamu seorang muslim yang taat dan aku ehm... seorang kristiani yang taat juga” jelasnya.
“kita bagaikan air dan minyak yang tak bisa bersatu. Ini cinta terlarang. Kita tidak bisa menyatukan perasaan ini” nathan terdiam, dia menundukan wajahnya dengan sejuta perasaan yang entah bagaimana bisa aku mengerti.
“lalu kamu mau aku bagaimana?”
“dengar Nathan. Aku membutuhkan seorang imam untuk menuntunku dalam kehidupan. Bukan hanya sekedar kekasih”
“jadi, kamu mau aku melamarmu?” aku terdiam memalingkan pandangan. Dengan perasaan canggung akupun mengangguk kecil. Gurat senyuman mengembang di bibir Nathan.
“tapi Abi hanya akan menerima lamaran dari seorang muslim”celaku. Meskipun terdengar sederhana, tapi dimata Nathan itu adalah hal yang luar biasa.
“akan kucoba usahakan”tegasnya.

* * *

“MASUK ISLAM ? APA KAU BILANG ! COBA KATAKAN SEKALI LAGI AYAH INGIN MENDENGARNYA”
“AKU INGIN MASUK ISLAM”
PLAK!!. Sebuah tamparan mendarat dengan keras di pipi sebelah kiri Nathan, dia mengelus pipinya yang sakit bukan main. Dia mendengar ayahnya berceramah tentang isi bible dan menasihatinya.
          “kau sudah menghianati Tuhan Yesus juru selamat kita. Tidak malu kah kau!” tegas ayahnya. Nathan hanya diam karena hanya ini satu-satunya cara untuk bisa bersatu dengan wanita terkasihnya, yaitu menjadi seorang muallaf.
          “siapa yang sudah mempengaruhimu hah! Para teroris berkerudung itu?” Nathan tersentak mendengar ucapan ayahnya, dia tidak bisa menerima hinaan ayahnya yang keterlaluan, itu sama saja dengan menghina Salma.
          “kenapa diam? Benarkan apa yang aku katakan”tegas ayahnya.
          “kamu memang sudah seharusnya pergi ke Vatikan untuk menjernihkan kembali rohanimu. Kamu terlalu banyak bergaul dengan mereka. makanya kamu seperti ini!” kini Nathan mulai prustasi, hilang kendali. Dia merasa tidak sedang berhadapan dengan ayahnya melainkan seorang lawan.
          “besok kamu akan segera berangkat ke Vatikan. Akan kuurusi kepindahan kampusmu, passport, tiket bahkan semuanya. SEMUANYA!” ayahnya langsung melengos meninggalkan Nathan yang terpaku di tempat, pikirannya seolah gelap. Petir menyambar hatinya begitu keras. Sungguh menyakitkan.

* * *

Entah kenapa perasaanku kini begitu tidak enak. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, entah kenapa itu. Namun pikiranku langsung melambung jauh memikirkan Nathan. Tidak seperti biasanya aku seperti ini. apa karena aku terlalu mengharapkannya? Ya Allah dosakah aku melakukan hal ini. mengharapkan umat lain memluk agama-Mu bukan karena Engkau melainkan diriku.
Kulihat Fatimah berlari dengan tergesa-gesa menuju kearahku. Raut wajahnya menampakkan sebuah kekhawatiran yang mendalam. nafasnya begitu parau, bahkan hampir kehabisan oksigen.
“tenang dulu Ima. Tarik nafas perlahan.. lalu buang” dia menuruti apa yang ku katakan hingga beberapa detik kemudian dia mulai bersuara.
“ada berita buruk Sal. Ini tentang Nathan” pikiranku kini melambung memikirkannya, jadi benar dengan apa yang kurasakan.
“ada apa dengan Nathan?” tanyaku penasaran.
“barusan aku mendapat telpon dari Ali. Dia bilang padaku kalau Nathan akan pindah ke Vatikan, mobilnya berangkat beberapa menit yang lalu. Pembantunya bilang pesawatnya take off pukul. 3 sore ini” aku tersentak mendengarnya. Namun apa yang harus kulakukan? Inikah jawaban atas semua do’aku. Allah mungkin tidak menjodohkan aku dengannya.
“kenapa diam? Ayo kita bergegas ke bandara. Kamu tidak mau mengucapkan salam perpisahan. Mungkin ini pertemuan terakhir kalian”belum sempat aku menjawab, Fatimah sudah menarik tanganku. Kami langsung berangkat ke Bandara dengan menggunakan taxi.
Jam menunjukkan pukul 15.15 wib. Aku dan Fatimah harus mencari Nathan diantara ribuan orang. Namun waktu semakin berlalu kami akhirnya memutuskan untuk bertanya pada reseptionis.
Aku menunggu Fatimah di deretan kursi lobi dengan perasaan was-was. Apa ini mimpi? Ya Allah bangunkan aku dari mimpi buruk ini.
Fatimah berjalan menghampiriku dengan ekpresi muka yang sulit kubaca. Aku berdiri menyamakan posisiku dengannya, aku menatapnya namun matanya mengalihkan pandangan dariku.
“bagaimana Ima?”tanyaku. dia pun menggeleng. “pesawatnya sudah take off setengah jam yang lalu. Maafkan aku salma”. Kaki ku terasa melemas, akupun tidak bisa menahan bobot tubuhku hingga akhirnya aku kembali terduduk sambil termenung. Hatiku kini bagaikan tersambar petir yang keras. Kenapa kami harus bertemu jika akhirnya akan terpisahkan juga L

* * *  
4 Tahun Kemudian.

Beberapa bulan ini aku sering mendapatkan surat dari Nathan. Bahkan tak pelak juga aku membalasnya walaupun harus menunggu waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk bisa terkirim sampai ke Vatikan, Italia. Nathan tidak  pernah berubah, dia masih baik bahkan perhatian padaku. Selama ini Abi tidak tau tentang hubunganku dengan Nathan. Kami memang tidak berpacaran namun aku rasa hubungan kami lebih dekat daripada teman.
Aku sangat merindukan Nathan, rindu wajah tampannya, suaranya bahkan aroma wangi tubuhnya. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kami terpisahkan sangat jauh, bahkan lebih jauh daripada rama dan sinta. Kisah kami tidak pernah bersatu sama seperti romeo dan juliet. Namun apakah kisah kami akan berakhir sama seperti Adam dan Hawa yang akhirnya Allah pertemukan di bukit Marwah meskipun harus menunggu bertahun-tahun karena di pisahkan antar ujung dunia.
Aku mendengar suara pak pos kini berada di depan pintu rumahku. Sudah sangat ku kenal karena dialah pembawa kabar gembira untukku dan Nathan. Dia memberikanku sebuah amplop besar berbeda dengan amplop yang datang sebelumnya. Aku membawa amplop itu ke kamarku agar tidak diketahui oleh Abi. Sebelum ku buka amplopnya akupun membacakan basmalah terlebih dahulu, amplop berwarna coklat itupun kubuka lalu tampak sebuah surat yang warnanya lebih indah daripada surat yang sebelumnya di kirimkan Nathan. Ada sedikit keganjalan pada surat itu. Ini bukan surat biasa, ini surat undangan yang Nathan kirimkan padaku. Entah bagaimana perasaanku sekarang, haruskah aku memakan buah apel beracun sama seperti snow white agar pangeranku datang lalu menyelamatkanku. Tapi kurasa tidak, kenapa harus lebay seperti itu.
Perlahan kubuka surat undangan berwarna merah maroon itu, terpampang dengan jelas bahwa ini undangan pernikahan.
~Nathan Andrea dengan Maria Magdalena 14 februari 2013~
Ribuan pedang terasa menancap tepat di ulu hatiku menahan dadaku untuk bernafas. Kenapa rasanya begitu sakit, bahkan lebih sakit daripada sebelumnya. aku tak dapat menyeimbangkan tubuhku, semua persendianku terasa kaku. Aku tergeletak di atas lantai dan sedetik kemudian semuanya menjadi gelap.

* * *

14 februari 2013

Aku menatap bayanganku di balik cermin kamarku. Gaun berwarna putih serta jilbab krem kini menghiasi tubuhku untuk menghadiri acara pernikahan Nathan dan calon istrinya. Tempatnya berada di pusat kota berdekatan dengan kampusku dulu. Mataku begitu sembap tapi aku harus kuat. Aku tidak mau mengecewakan Nathan karena sudah mengundangku menghadiri acara pernikahannya.
Aku berangkat dengan menggunakan taxi, berjalan memasuki gedung resepsi. Tempat itu dihiasi dengan pernak pernik indahnya pesta pernikahan. Dapat kulihat jelas Nathan dan Maria sedang mengucapkan janji suci mereka dibalik altar, pendeta itu membawa sebuah kitab lalu menunjukan tangannya pada Nathan.
“bersediakah anda Nathan Andrea, mendampingi Maria Madgalena dalam senang maupun sedih, dalam suka maupun duka , dalam sehat  maupun sakit”
“aku bersedia”jawab Nathan begitu terdengar jelas di telingaku.
“baiklah, sekarang kau bisa mencium pengantinmu”. Nathan membuka penutup wajah pasangannya, wajah mereka semakin medekat. Aku tidak bisa melihatnya lebih lama lagi, segera ku meninggalkan gedung itu dan mengeluarkan semua air mataku di luar gedung.
Adzan Dzuhur berkumandang tatkala kaki ini sudah tak sanggup lagi untuk melangkah,tak kuasa aku menahan semua beban hidup ini.Ya Allah kenapa Engkau perlihatkan aku dengan hal tersakit yang kurasakan dalam hidup ini.
Tak sadar kaki ini ternyata sudah sampai di pelataran Mesjid Agung yang berdiri kokoh di samping gedung tempat Nathan melangsungkan pernikahannya. 
Aku pun segera mengambil wudhu kemudian melaksanakan ibadah solat Dzuhur, tak cukup satu kali takbir untukku bersujud kali ini. berkali-kali aku mencoba niat namun batin ini tak kuasa menahan kesedihan yang begitu mendalam,namun setelah niat yang ketiga akupun berhasil khusu untuk beribadah kepada-Nya.
Selepas melaksanakan ibadah solat dzuhur, akupun mengadahkan kedua tanganku dan menceritakan semua yang aku alami selama ini kepada-Nya. Aku tahu jika ini memang salahku, ini memang salah hatiku yang tak bisa menempatkan rasa cinta pada tempatnya yang benar. Aku ingat perkataan guru mengajiku dulu, jika seseorang menyukai hal yang kita miliki hendaknya berikanlah meskipun itu adalah hal yang paling kita cintai, karena Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik lagi.
Kini aku mulai mengikhlaskannya Ya Allah, meskipun sakit dan begitu terasa pahit. Karena aku tahu aku dengan Nathan memang tak bisa menyembahmu secara bersama-sama. Aku tetap menyembah-Mu dan dia tetap menyembah Tuhannya. Karena aku sangat yakin dengan-Mu Ya Allah dan Nathan pun lebih yakin dengan Tuhannya.
Aku sadar bahwa cinta saja tidak cukup untuk membuat sebuah hubungan berhasil. Ada banyak faktor yang penting untuk dipertimbangkan. Hal-hal seperti jarak, pola pikir, restu keluarga hingga siapa yang kita sembah. Hubungan yang serius itu bukan hanya tentang mencari persamaan, tapi lebih tentang bagaimana menyatukan perbedaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar